Search This Blog

Thursday, February 17, 2011

Ciri-Ciri Konsep "Setaraf" Dalam Pernikahan


Pendahuluan: Dalam satu pernikahan, dibolehkan bagi seorang wanita menolak pinangan seorang lelaki dengan alasan ‘tak setaraf’. Syariat membahasakan hal itu dengan istilah kafaa’ah. Oleh yang demikian, apakah yang dimaksudkan dengan kafaa’ah itu?

Kafaa’ah secara bahasa adalah mashdar dari kata kaafa’a, yukaafi’u, yang bererti persamaan. Akar kata bendanya adalah al-kufu’ yang bererti setara atau sepadan. Hal ini seperti firman Allah ta’ala:

“dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia” [Al-Ikhlash: 4].

Adapun secara istilah kafaa’ah bererti: kesamaan atau mendekati kesamaan antara lelaki (yang hendak melamar) dengan wanita (yang akan dilamar) dalam hal-hal tertentu seperti: agama, keturunan, kemerdekaan, pekerjaan, dan yang lainnya.

Ciri Pertama: Agama dan kesolehan

Semua ulama memasukkan ciri agama dalam kafaa’ah pernikahan.

Allah ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran” [Al-Baqarah: 221]

“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahawa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka” [Al-Mumtahanah: 10]

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain” [At-Taubah: 71].

Ayat di atas menunjukkan bahawa seorang muslimah haram hukumnya dinikahi oleh lelaki kafir. Para ulama telah sepakat tentang hal ini.

Allah ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu” [Al-Hujuraat: 13].

Al-Qurthubi rahimahullah berkata:
“Dan dalam ayat ini menunjukkan bahawa ketakwaan adalah hal yang dipertimbangkan di sisi Allah ta’ala dan Rasul-Nya, bukan keturunan dan keturunan” [Tafsir Al-Qurthubi, 16/345].

Cabang dari permasalahan ini adalah: Para ulama membenci seseorang menikahkan anak wanitanya dengan orang yang fasiq. Ia adalah kafaa’ah dalam hal ‘afifah (kehormatan diri).

‘Abdul-Qaadir bin ‘Umar Asy-Syaibani rahimahullah berkata:
“Orang yang fasiq ditolak persaksian dan riwayatnya. Hal itu merupakan kekurangan dalam hal kemanusiaan dirinya. Maka, tidak ada kecukupan dalam keadilan” [Nailul-Ma-aarib, 2/156].

Jika orang fasiq dianggap tidak memiliki kafaa’ah dalam ‘afiifah, maka mubtadi’ lebih-lebih lagi. Para ulama sangat membenci seseorang yang menikahkan anaknya dengan seorang mubtadi’ (yang belum keluar dari lingkup Islam). Namun jika kebid’ahannya menyebabkan ia keluar dari Islam, maka hukumnya adalah sebagaimana hukum pernikahan seorang wanita dengan lelaki kafir (iaitu haram).

Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata:
“Ahlul-bid'ah jangan dinikahkan (dengan wanita Ahlus-Sunnah), jangan menyerahkan kepada mereka untuk dinikahi, jangan mengucapkan salam kepada mereka, jangan solat di belakang mereka dan jangan saksikan jenazah-jenazah mereka” [Al-Mudawwanah, 1/68].

No comments:

Post a Comment